Total Tayangan Halaman

Kamis, 16 Desember 2010

PENGEMBANGAN MADRASAH DI INDONESIA DENGAN SISTEM MANEJEMEN BERBASIS MADRASAH (MBM)



A.    PENDAHULUAN 
Pendidikan Islam di Indonesia mempunyai sejarah yang cukup panjang. Dalam arti seluas-luasnya, pendidikan Islam di Indonesia telah dikenal seiring dengan kedatangan agama Islam itu sendiri, yaitu sekitar abad ke-7 Masehi atau abad pertama Hijriah.[1] Sesuai dengan proses penyebarannya yang dilakukan oleh para pedagang, maka proses pendidikan pun dilakukan secara informal, sambil berdagang, mereka menyebarkan agama Islam di setiap ada kesempatan.[2]
Dalam perspektif historis, Indonesia merupakan sebuah negeri muslim yang unik, letaknya sangat jauh dari pusat lahimya Islam (Mekkah). Meskipun Islam baru masuk ke Indonesia pada abad ke tujuh, dunia internasional mengakui bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Hal ini merupakan salah satu indikator keberhasilan Pendidikan Agama Islam di Indonesia.
Lembaga Pendidikan Agama Islam pertama didirikan di Indonesia adalah dalam bentuk pesantren[3]. Dengan karakternya yang khas "religius oriented", telah mampu meletakkan dasar-dasar pendidikan keagamaan yang kuat. untuk membekali para santri tentang ajaran Islam tetapi juga kemampuan untuk menyebarkan dan mempertahankan Islam, maka diperlukan adanya lembaga pendidikan yang dapat mengarahkan anak dalam bertingkah laku yang baik. Yang mana lembaga tersebut diperlukan sebuah lingkungan yang mengarahkan pada pendidikan yang bermutu dan Islami.
Banyak bukti yang telah kita lihat bahwa lembaga pendidikan Islam semakin ‘berbicara’ dalam upaya mendorong kemajuan pendidikan nasional. Berbagai kreatifitas dalam mendidik siswa justru lebih awal dilakukan oleh lembaga pendidikan Islam. Hadirnya konsep sekolah “unggulan” atau sekolah “terpadu”, dengan seleksi yang ketat di setiap awal tahun ajaran, sangat strategis dalam menaikkan daya tawar lembaga pendidikan tersebut. Contoh lembaga pendidikan Islam seperti itu di Sumatera dan Jawa seperti Diniyyah School, Pondok Gontor, Sekolah Adabiah, Sekolah Islam Terpadu “Adzkia”, Perguruan Arrisalah, dll.
Mengindikasikan lembaga pendidikan Islam  mulai berbenah. Sekaligus mulai memperhitungkan posisi strategis keberadaannya di masyarakat sekitar. Menjamurnya Pendidikan Islam Terpadu, semisal Madrasah Ibtidaiyyah Islam Terpadu (MIIT/SDIT), Madarasah Tsaniwiyyah Islam Terpadu (MTsIT/SMPIT) dan Madrasah Aliyah Islam Terpadu (MAIT/SMAIT) merupakan kabar gembira bagi dunia pendidikan kita. Namun perlu diingat, pihak pengelola hendaknya tetap konsisten menjaga garis-garis demarkasinya. Idealnya, lembaga pendidikan Islam tersebut, berada ditengah-tengah antara kesalafiahan dan kemodernan. Di sinilah, letak terberat posisi madrasah yang ikut bermetamorfosis mengenakan baju modernitas.
Di samping itu, perlu disadari pula perubahan madrasah salafiah menjadi madrasah modern (unggulan), hendaknya tidak lantas meninggikan biaya operasional madrasah. Jika hal itu terjadi, tentu menjadi preseden buruk bagi masyarakat tradisional (urban). Mengingat mayoritas konsumen madrasah adalah mereka yang berada dikalangan ekonomi menengah ke bawah. Sehingga manajemen dagang ala kapitalis, harus dibuang jauh-jauh dari benak para pengelola madrasah unggulan.
Manajemen pendidikan merupakan alternatif strategis untuk meningkatkan  kualitas pendidikan. Hasil penelitian Balitbang-dikbud menunjukkan bahwa manajeman sekolah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan.[4] .
Dari uraian diatas, maka penulis berusaha menulis tentang pengembangan madrasah di Indonesia dalam system Manejeman Berbasis Madrasah ( MBM).

B.     MANAJEMEN BERBASIS MADRASAH
1.      Pengertian Manajemen .
Manajemen berasal dari kata "to manage" yang berarti mengatur, mengurus atau mengelola. Banyak definisi yang telah diberikan oleh para ahli terhadap istilah manajemen ini. Namun dari sekian banyak definisi tersebut ada satu yang kiranya dapat dijadikan pegangan dalam memahami manajemen tersebut, yaitu: manajemen adalah suatu proses yang terdiri dari rangkaian kegiatan, seperti perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengendalian/pengawasan, yang dilakukan untuk menetukan dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber daya lainnya.[5]
Gaffar mengemukakan bahwa manjemen pendidikan mengandung arti sebagai suatu proses kerja sama yang sistematik, sitemik, dan komprehensif dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional.[6]

2.         Pengertian Madrasah
Kata "madrasah" dalam bahasa Arab adalah bentuk kata "keterangan tempat" (zharaf makan) dari akar kata "darasa". Secara harfiah "madrasah" diartikan sebagai "tempat belajar para pelajar", atau "tempat untuk memberikan pelajaran". Dari akar kata "darasa" juga bisa diturunkan kata "midras" yang mempunyai arti "buku yang dipelajari" atau "tempat belajar"; kata "al-midras" juga diartikan sebagai "rumah untuk mempelajari kitab Taurat". Kata "madrasah" juga ditemukan dalam bahasa Hebrew atau Aramy, dari akar kata yang sama yaitu "darasa", yang berarti "membaca dan belajar" atau "tempat duduk untuk belajar". Dari kedua bahasa tersebut, kata "madrasah" mempunyai arti yang sama: "tempat belajar". Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kata "madrasah" memiliki arti "sekolah" kendati pada mulanya kata "sekolah" itu sendiri bukan berasal dari bahasa Indonesia, melainkan dari bahasa asing, yaitu school atau scola.[7]
Para ahli sejarah pendidikan seperti A.L.Tibawi dan Mehdi Nakosteen, mengatakan bahwa madrasah (bahasa Arab) merujuk pada lembaga pendidikan tinggi yang luas di dunia Islam (klasik) pra-modern. Artinya, secara istilah madrasah di masa klasik Islam tidak sama terminologinya dengan madrasah dalam pengertian bahasa Indonesia. Para peneliti sejarah pendidikan Islam menulis kata tersebut secara bervariasi misalnya, schule atau hochschule (Jerman), school, college atau academy (Inggris).[8]

3.      Pengertian Manajemen Berbasis Madrasah
Sejak beberapa waktu terakhir, kita dikenalkan dengan pendekatan "baru" dalam manajemen madrasah yang diacu sebagai manajemen berbasis madrasah (school based management). Di manca negara, seperti Amerika Serikat, pendekatan ini sebenarnya telah berkembang cukup lama. Pada 1988 American Association of School Administrators, National Association of Elementary School Principals, and National Association of Secondary School Principals, menerbitkan dokumen berjudul school based management, a strategy for better learning. Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki untuk dapat mengelola sekolah secara mandiri. Umumnya dipandang bahwa para Kepala Madrasah merasa tidak berdaya karena terperangkap dalam ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, peran utama mereka sebagai pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan dengan rutinitas urusan birokrasi yang menumpulkan kreativitas berinovasi.[9]
Manajemen Berbasis Sekolah/Madrasah pada hakikatnya adalah penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan (stakeholder) yang terkait dengan madrasah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu madrasah atau untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.[10]
Menurut Agus Dharma, MBS/MBM adalah upaya serius yang rumit, yang memunculkan berbagai isyu kebijakan dan melibatkan banyak lini kewenangan dalam pengambilan keputusan serta tanggung jawab dan akuntabilitas atas konsekuensi keputusan yang diambil. Oleh sebab itu, semua pihak yang terlibat perlu memahami benar pengertian MBSMBM, manfaatnya, masalah-masalah dalam penerapannya, dan yang terpenting adalah pengaruhnya terhadap prestasi belajar murid. Depdiknas merumuskan pengertian MBS sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipasif yang melibatkan secara langsung warga madrasah (Guru, siswa, Kepala Madrasah, karyawan, orang tua, dan masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijaksanan pemerintah nasional.[11]
Manajeman Berbasis Madrasah merupakan salah satu wujud dari reformasi pendidikan, yang menawarkan kepada sekolah/madrasah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan memadai bagi peserta didik.[12]
Dengan demikian Manajemen Berbasis Madrasah merupakan proses pengintegrasian, pengkoordinasian dan pemanfaatan dengan melibatkan secara menyeluruh elemen-elemen yang ada pada madrasah untuk mencapai tujuan (mutu pendidikan) yang diharapkan secara efisien. Atau dapat diartikan bahwa MBM adalah model manajemen yang memberikan otonomi (kewenangan) yang lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan yang partisipatif yaitu melibatkan semua warga madrasah berdasarkan kesepakatan bersama. Dengan adanya otonomi (kewenangan) yang lebih besar diharapkan madrasah dapat menggunakan dan mengembangkan kewenangan secara mandiri dalam mengelola madrasah dan memilih strategi dalam meningkatkan mutu pendidikan serta dapat memilih pengembangan program yang lebih sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan madrasah.




C.     Karakteristik dan Aspek-aspek Manajemen Berbasis Madrasah
1.      Karakteristrik Manajemen Berbasis Madrasah (MBM).
Karakterisitk Manajemen Barbasis Sekolah tentunya tidak terlepas dari pendekatan Input, Proses, Output Pendidikan.
a. Input Pendidikan
Input pendidikan adalah segala sesuatu yang harus tersedia karena dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Sesuatu yang dimaksud berupa sumberdaya dan perangkat lunak serta harapan-harapan sebagai pemandu bagi berlangsunnya proses. Input sumber daya meliputi sumberdaya manusia (Kepala Madrasah, guru termasuk guru BP, karyawan, siswa) dan sumberdaya selebihnya (peralatan, perlengkapan, uang, dan bahan). Input perangkat lunak meliputi struktur organisasi madrasah, peraturan perundang-undangan, deskripsi tugas, rencana, program, dsb. Input harapan-harapan berupa visi, misi, tujuan, dan sasaran- sasaran yang ingin dicapai oleh sekolah. Kesiapan input sangat diperlukan agar proses dapat berlangsung dengan baik. Oleh karena itu, tinggi rendahnya mutu input dapat diukur dari tingkat kesiapan input. Makin tinggi tingkat kesiapan input, makin tinggi pula mutu input tersebut.[13]
Secara ringkas karakteristik MBM ditinjau dari segi input terdiri dari empat hal yaitu: 1) memiliki kebijakan, tujuan dan sasaran mutu yang jelas, 2) tersedianya sumber daya yang kompetitif dan berdedikasi, 3) memiliki harapan prestasi yang tinggi, dan 4) komitmen pada pelanggan.[14]
a.       Proses Pendidikan
Proses Pendidikan merupakan berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu yang berpengaruh terhadap berlangsungnya proses disebut inputoutput. Dalam pendidikan bersekala mikro (ditingkat madrasah), proses yang dimaksud adalah proses pengambilan keputusan, proses yang dimaksud adalah proses pengembilan keputusan, proses pengelolaan kelembagaan, proses pengelolaan program, proses belajar mengajar, dan proses monitoring dan evaluasi, dengan catatan bahwa proses belajar memiliki tingkat kepentingan tertinggi dibanding dengan proses- proses lainnya. secara ringkas karakteristik MBM ditinjau dari segi proses terdiri dari beberapa yaitu: 1) efekttivitas dalam proses belajar mengajar tinggi, 2) kepemimpinan yang kuat, 3) lingkungan madrasah yang nyaman, 4) pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif, 5) tim kerja yang kompak dan dinamis, 6) kemandirian, partisipatif dan keterbukaan (transparasi), 7) evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan, dan 8) responsif, antisipatif, komunikatif dan akuntabilitas.[15] sedangkan sesuatu dari hasil proses disebut Menurut Suyanto,
b.      Output yang diharapkan
Pada dasarnya output yang diharapkan merupakan tujuan utama dari
penyelenggaraan pendidikan secara umum. Output pendidikan adalah merupakan kinerja madrasah. Kinerja madrasah adalah prestasi madrasah yang dihasilkan dari proses/perilaku madrasah. Kinerja madrasah dapat diukur dari kualitasnya, efektivitasnya, produktivitasnya, efesiendinya, inovasinya, kualitas kehidupan kerjanya dan moral kerjanya. Khusus yang berkaitan dengan mutu output madrasah, dapat dijelaskan bahwa output madrasah dikatakan berkualitas/bermutu tinggi jika prestasi madrasah, khusunya prestasi belajar siswa, menunjukkan pencapaian yang tinggi dalam: (1) prestasi akademik, berupa nilai ulangan umum EBTA, EBTANAS, karya ilmiah, lomba akademik, dan (2) prestasi non-akademik, seperti misalnya IMTAQ, kejujuran, kesopanan, olah raga, kesnian, keterampilan kejujuran, dan kegiatan-kegiatan ektsrakurikuler lainnya. Mutu sekolah dipengaruhi oleh banyak tahapan kegiatan yang saling berhubungan (proses) seperti misalnya perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan.

2.      Aspek-aspek Manajemen Berbasis Madrasah (MBM)
Berdasarkan otonomi pengelolaan pendidikan di lingkungan madrasahmaka peran pemerintah bergeser dari ‘regulator’ menjadi ‘fasilitator’. Keterlibatan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan ini hanya mencakup dua aspek, yaitu mutu dan pemerataan. Pemerintah menetapkan standar mutu pendidikan, dan berupaya agar semua siswa dapat berprestasi setinggi mungkin. Juga berupaya agar semua sekolah/madrasah dapat mencapai standar minimal mutu pendidikan, dengan keragaman prestasi antara sekolah/madrasah dalam suatu lokasi sekecil mungkin. Pemeritah juga menjamin pemerataan kesempatan bagi seluruh siswa dari semua lapisan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan. Peran ini dilakukan melalui perumusan kebijaksanaan umum, pelayanan teknis, dan monitoring program secara reguler. Praktek diskriminasi terhadap siswa perempuan, siswa normal, anak berkelainan dan sekolah/madrasah swasta baik dilakukan secara langsung maupun tidak, baik terjadi pada level kebijaksanaan maupun implementasi harus dihapuskan. Demikian juga alokasi dan distribusi anggaran pendidikan harus menjujung tinggi asas keadilan dan transparansi. Adanya otonomi yang diberikan pemerintah kepada madrasah telah memberikan kekuasaan kepada kepala sekolah dan warga madrasah untuk mengembangkan lembaga pendidikannya berdasarkan kemampuan manajerialnya. Di bawah ini dijelaskan beberapa aspek yang menyangkut manajemen berbasis madrasah:
1.      Aspek Pengelolaan Proses belajar Mengajar
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) No. 20 tahun 2003, “pembelajaran sebagai proses interaksi peserta didik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar”. Pembelajaran dapat juga diartikan suatu upaya untuk mengarahkan timbulnya perilaku belajar pebelajar, atau dengan ungkapan lain upaya untuk membelajarkan pebelajar. Lebih lanjut Dimyati dan Mudjono dalam Sagala mendefenisikan pembelajaran adalah “kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional untuk membuat siswa belajar”.Menurut Suwarno sebagaimana yang dikutip Ramayulis, peranan madrasah dalam proses pembelajaran antara lain:
1)      memberikan kecerdasan pikiran dan memberi pengetahuan,
2)      memberikan spesialisasi dalam bidang pendidikan dan pengajaran,
3)      memberikan pendidikan dan pengajaran yang lebih efisien kepada masyarakat,
4)      membantu perkembangan individu menjadi makhluk social,
5)      menjaga nilai budaya yang hidup dalam masyarakat dengan jalan menyampaikan kebudayaan tadi, dan
6)      melatih untuk dapat berdiri sendiri dan bertanggung jawab sebelum ke masyarakat.[16]
Proses belajar merupakan kegiatan utama madrasah. Madrasah diberi kebebasan memilih strategi, metode dan teknik-teknik pembelajaran dan pengajaran yang paling efektif, sesuai dengan karakteristik siswa, karakteristik guru, dan kondisi nyata sumberdaya yang tersedia di madrasah. Secara umum, strategi/metode/teknik pembelajaran dan pengajaran yang berpusat pada siwa (student centered) lebih mampu memberdayakan pembelajaran yang menekankan pada keaktifan belajar siswa, bukan pada keaktifan mengajar guru. Oleh karena itu kepala madrasah perlu menerapkan cara-cara belajar siswa aktif seperti active learning, cooperative learning, dan quantum learning perlu diterapkan.

2.      Perencanaan dan Evaluasi

Dalam  Al Quran juga dijelaskan bahwa, Allah dalam perencanaan dan mengevaluasi hamba-hambanya tidak memandang formalitas, tetapi memandang subtansi tindakan hamba-hambanya tersebut dalam Qs. 22;37
`ƒŸŠƒšDaging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.[17]

Madrasah diberi kewenangan untuk melakukan perencanaan sesuai dengan kebutuhannya (school-based plan). Kebutuhan yang dimaksud misalnya, kebutuhan untuk meningkatkan mutu madrasah. Menurut Nahwawi sebagaimana yang dikutip Ahmad Sabri rencana yang perlu disusun oleh oleh madrasah dalam konteks pendidikan meliputi:
1) Perumusan tujuan yang hendak dicapai, 2) Penentuan bidang/fungsi unit sebagai bagian yang akan melaksanakan kegiatan untuk mencapai tujuan, 3) Menetapkan jangka waktu yang diperlukan, 4) Menetapkan metode atau cara penyampaian tujuan, 5) menetapkan alat-alat yang dapat dipergunakan untuk meningkatkan efisiensi pencapaian tujuan, 6) merumuskan rencana evaluasi atau penilaian untuk mengukur tingkat pencapaian tujuan, dan 7) menetapkan jumlah dan sumber dana yang diperlukan. [18]

Kepala Madrasah harus melakukan analisis kebutuhan mutu dan berdasarkan hasil analisis kebutuhan mutu inilah kemudian Kepala Madrasah membuat rencana peningkatan mutu. Selain itu madrasah juga diberi wewenang untuk melakukan evaluasi, khususnya evaluasi yang dilakukan secara internal. Menurut Oemar Hamalik, evaluasi pembelajaran diarahkan pada komponen sistem pembelajaran yang mencakup prilaku awal anak didik, kemampuan guru, kurikulum dan administratif. Secara internal evaluasi dilakukan oleh warga madrasah untuk memantau proses pelaksanaan dan untuk mengevaluasi hasil program-program yang telah dilaksanakan. Evaluasi semacam ini sering disebut evaluasi diri. Evaluasi diri harus jujur dan transparan agar benar-benar dapat mengungkap informasi yang sebenarnya.[19]

3.   Pengelolaan Kurikulum
Untuk menciptakan pendidikan yang berkualitas, maka seluruh komponen-komponen pendidikan mestilah berkualitas. Diantara komponen yang sangat penting untuk menuju pendidikan yang berkualitas itu adalah adanya kurikulum madrasah yang dibuat oleh madrasah sebagai sebuah pedoman dan arah dalam menciptakan proses pendidikan yang berkualitas.(curri dan culum) diterjemahkan para ahli sebagai jalan yang mesti dilalui, Kurikulum adalah gambaran umum (miniature) dari proses pendidikan yang akan dilalui, 3) tanpa ada kurikulum mustahil tercipta hasil pembelajaran yang berkualitas. Dengan demikian setiap lembaga pendidikan mesti membuat kurikulum sebagai sebuah jembatan penyeberangan menuju hasil pendidikan yang berkualitas.[20] Mengapa kurikulum itu perlu? Paling tidak ada beberapa jawaban untuk itu 1) kurikulum menurut akar katanya
Karena kurikulum yang dibuat oleh Pemerintah Pusat adalah kurikulum standar yang berlaku secara nasional, sementara kondisi madrasah pada umumnya sangat beragam maka dalam implementasinya, madrasah dapat mengembangkan (memperdalam, memperkaya, dan memodifikasi) kurikulum tersebut, namun tidak boleh mengurangi isi kurikulum yang berlaku secara nasional. Madrasah dibolehkan memperdalam kurikulum, artinya, apa yang diajarkan boleh dipertajam dengan aplikasi yang bervariasi. Madrasah juga dibolehkan memperkaya apa yang diajarkan, artinya apa yang diajarkan boleh diperluas dari yang harus, dan seharusnya, dan yang dapat diajarkan. Demikian juga, madrasah dibolehkan memodifikasi kurikulum, artinya apa yang diajarkan boleh dikembangkan agar lebih kontekstual dan selaras dengan karakteristik peserta didik. Selain itu, madrasah juga diberi kebebasan untuk mengembangkan kurikulum muatan lokal.
Untuk menjamin efektivitas pengembangan kurikulum dan program pengajaran  dalam Menejemen Berbasis Madarasah (MBM), kepala sekolah sebagai pengelola program pengajaran bersama guru-guru harus menjabarkan isi kurikulum secara rinci dan operasional ke program tahunan, catur wulan, dan bulanan. Adapun program mingguan atau program satuan pelajaran, wajib dikembangkan guru sebelum melakukan  kegiatan belajar mengajar.[21]  

4.      Pengelolaan Ketenagaan
Reformasi dalam pengelolaan pendidikan mengarah kepada terciptanya kondisi yang desentralistis baik pada tatanan birokrasi maupun pengelolaan madrasah. Reformasi ini, terwujudkan dalam bentuk kewenangan luas di tingkat Kab/Kota, madrasah dalam mengelola berbagai sumber termasuk di dalamnya ketenaganaan. Kepala Madrasah perlu melakukan pengelolaan ketenagaan, mulai dari analisis kebutuhan, perencanan, rekrutmen, pengembangan, hadiah dan sangsi (reward and punishment), hubungan kerja, sampai evaluasi kinerja tenaga kerja madrasah (guru, tenaga administrasi, laporan, dsb) dapat dilakukan oleh madrasah kecuali yang menyangkut pengupahan/imbalan jasa dan rekrutmen guru, yang sampai saat ini masih ditangani oleh birokrasi diatasnya.[22]

5.      Pengelolan Fasilitas (Peralatan dan Perlengkapan)
Pengelolaan fasilitas sudah seharusnya dilakukan oleh madrasah, mulai dari pengadan, pemeliharaan dan perbaikan, hingga sampai pengembangan. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa sekolah yang paling mengetahui kebutuhan fasilitas, baik kecukupan, kesesuaian, maupun kemutakhirannya, terutama fasilitas yang sangat erat kaitannya secara langsung dengan proses belajar mengajar.
Pada dasarnya sekolah umum yang pada umumnya berstatus negeri dan dengan statusnya itu seluruh pembiayaan, ketenagaan, semua kebutuhan fasilitas tercukupi oleh pemerintah dibandingkan dengan prestasi madrasah yang pada umumnya berstatus swasta dan tidak memperoleh fasilitas sebagaimana yang diterima oleh sekolah umum pada umumnya. Minimnya fasilitas yang diberikan pada madrasah jika dibandingkan dengan sekolah umum, membuat kepala sekolah perlu melakukan strategi dan usaha pengelolaan yang dapat memenuhi kebutuhannya.

6.      Pengelolaan Keuangan
Pengelolaan keuangan, terutama pengalokasian/penggunaan uang sudah sepantasnya dilakukan oleh Kepala Madrasah secara transparan dan bertanggungjawab. Hal ini juga didasari oleh kenyataan bahwa madrasahlah yang paling memahami kebutuhannya sehingga desentralisasi pengalokasian/penggunaan uang sudah seharusnya dilimpahkan ke madrasah. Madrasah juga harus diberi kebebasan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang mendatangkan penghasilan, sehingga sumber keuangan tidak semata-mata tergantung pada pemerintah[23]

7.      Pelayanan Siswa
Pelayanan siswa, mulai dari peneriman siswa baru, pengembangan/pembinaan/ pembimbingan, penempatan untuk melanjutkan madrasah atau untuk memasuki dunia kerja, hingga sampai pada pengurusan alumni, sebenarnya dari dahulu memang sudah didesentralisasikan. Karena itu, yang diperlukan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitasnya.

8.      Hubungan Madrasah Masyarakat
Esensi hubungan madrasah-masyrakat adalah untuk meningkatkan keterlibatan, kepedulian, kepemilikan, dan dukungan dari masyarakat terutama dukungan moral dan finasial. Dalam arti yang sebenarnya hubungan madrasah-masyarakat dari dahulu sudah didesentralisasikan. Oleh karena itu, sekali lagi, yang dibutuhkan adalah peningkatan intensitas dan ekstesitas hubungan madrasah-masyarakat.

9.      Pengelolaan Iklim Madrasah
Iklim madrasah (fisik dan non fisik) yang kondusif-akademik merupakan prasyarat bagi terselenggaranya proses belajar mengajar yang efektif. Lingkungan madrasah yang aman dan tertib, optimisme dan harapan/ekspektasi yang tinggi dari warga madrasah, kesehatan madrasah, dan kegiatan-kegiatan yang terpusat pada siswa (student-centered activities) adalah contoh-contoh iklim madrasah yang dapat menumbuhkan semangat belajar siswa. Iklim madrasah sudah merupakan kewenangan madrasah, sehingga yang diperlukan adalah upaya-upaya yang lebih intensif dan ekstentif.[24]

D.    Tujuan dan Fungsi Manajemen Berbasis Madrasah
MBS merupakan paradigma baru pendidikan yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah dengan maksud agar madrasah leluasa mengelola sumber daya dan sumber dana dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan. MBS merupakan paradigma baru pendidikan yang memberikan otonomi luas pada tingkat madrasah dengan maksud agar madrasah leluasa mengelola sumber daya dan sumber dana dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan.
Pada sistem MBM madrasah dituntut secara mandiri menggali, mengalokasikan, menentukan prioritas, mengendalikan, dan mempertanggungjawabkan pemberdayaan sumber-sumber, baik kepada masyarakat maupun pemerintah. MBM juga merupakan salah satu wujud dari reformasi pendidikan yang menawarkan kepada madrasah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan memadai bagi siswa. Hal ini juga berpotensi untuk meningkatkan kinerja staf, menawarkan partidipasi langsung kepada kelompok-kelompok terkait, dan meningkatkan pemahaman kepada masyarakat terhadap pendidikan. Pengertian MBM sebagai suatu konsep yang menempatkan kekuasaan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pendidikan diletakkan pada tempat yang paling dekat dengan proses belajar mengajar. Kewenangan terhadap pembelajaran di serahkan kepada unit yang paling dekat dengan pelaksanaan proses pembelajaran itu sendiri yaitu madrasah. Di samping itu untuk memberdayakan madrasah agar dapat melayani masyarakat secara maksimal sesuai dengan keinginan masyarakat tersebut.

1.      Tujuan Manajemen Berbasis Madrasah
Adapun tujuan dan maksud implementasi MBM adalah untuk:
a.       Mensosialisasikan konsep dasar manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah khususnya kepada masyarakat.
b.      Memperoleh masukan agar konsep ini dapat diimplementasikan dengan mudah dan sesuai dengan kondisi lingkungan Indonesia yang memiliki keragaman cultural, sosio ekonomi masyarakat dan kompleksitas geografinya.
c.       Menambah wawasan pengetahuan masyarakat khususnya masyarakat madrasah dan individu yang peduli terhadap pendidikan, khususnya peningkatan mutu pendidikan.
d.      Memotivasi masyarakat sekolah untuk terlibat dan berpikir mengenai peningkatan mutu pendidikan/ pada madrasah masing-masing.
e.       Menggalang kesadaran masyarakat madrasah untuk ikut serta secara aktif dan dinamis dalam mensukseskan peningkatan mutu pendidikan.
f.       Memotivasi timbulnya pemikira-pemikiran baru dalam mensukseskan pembanguan pendidikan dari individu dan masyarakat yang peduli terhadap pendidikan khususnya masyarakat madrasah yang berada di gars paling depan dalam proses pembangunan tersebut.
g.      Menggalang kesadaran bahwa peningkatan mutu pendidikan merupakan tanggung jawab semua komponen masyarakat, dengan focus peningkatan mutu yang berkelanjutan pada tataran madrasah.
h.      Mempertajam wawasan bahwa mutu pendidikan pada tiap sekolah harus dirumuskan dengan jelas dan dengan target mutu yang harus dicapai setiap tahun, 5 tahun dan seterusnya sehingga tercapai misi madrasah ke depan.[25]
Selanjutnya tujuan MBM Menurut Bahtiar adalah:
a.       Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia;
b.      Meningkatkan kepedulian warga madrasah dan masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama;
c.        Meningkatkan tanggung jawab madrasah kepada orangtua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu madrasahnya; dan
d.       Meningkatkan kompetisi yang sehat antar madrasah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa sudah jelas secara politis manajemen berbasis madrasah ekolah merupakan muara dari semua kebijakan di bidang pendidikan akan tergambar di madrasah, sebab sekolah merupakan jaringan terakhir dari rangkaian birokrasi pendidikan. MBM juga sebagai bentuk operasionalisasi dari kebijakan desentralisasi atau otonomi pendidikan dalam hubungannya dengan otonomi daerah. Secara teoritis MBM juga merupakan suatu konsep yang menawarkan suatu otonomi kepada madrasah dalam rangka meningkatkan mutu, efisiensi dan pemerataan pendidikan agar dapat mengakomodir kepentingan masyarakat setempat serta menjalin kerja sama yang erat antara madrasah, masyarakat dan pemerintah. Secara operasional MBM merupakan gagasan yang menempatkan kewenangan pengelolaan madrasah dalam suatu keutuhan entitas sistem.
Berdasarkan beberapa paparan tentang manajemen berbasis madrasah seperti diatas, dapat dimengerti bhwa mutiara dari semua kebiakan di bidang pendidikan akan tergambar disekolah, sebab madrasah merupakan jaringan tekir dari rangkaian birokrasi pendidikan. Maka, hidup atau matinya suatu program akan ditentukan oleh sejauh semana madrasah mampu mengelola dan melaksanakan semua program kependidikan. Oleh sebab itu, manajemen berbasis madrasah menjadi sangat strategis dilaksanakan dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan pendidikan. Dengan manajemen berbasis madrasah ini, kepala madrasah, guru dan peserta didik mendapatkan peluang untuk melakukan inovasi dan improvisasi di madrasah berkaitan dengan masalah kurikulum, pembelajaran, manaerial dan lain-lain. Jadi, otonomi pendidikan merupakan hal yang esensial bagi terciptanya kebebasan akademik. Dengan demikian, manajemen berbasis madrasah dikatakan sebagai bentuk oprasionalisasi desentralisasi atau otonomi pendidikan dalam hubungannya dengan otonomi daerah.

2.      Manfaat Manejemen Berbasis Madrasah
MBM dipandang sebagai alternatif dari pola umum pengoperasian sekolah yang selama ini memusatkan wewenang di kantor pusat dan daerah. MBM adalah strategi untuk meningkatkan pendidikan dengan mendelegasikan kewenangan pengambilan keputusan penting dari pusat dan dearah ke tingkat sekolah. Dengan demikian, MBM pada dasarnya merupakan sistem manajemen di mana sekolah merupakan unit pengambilan keputusan penting tentang penyelenggaraan pendidikan secara mandiri. MBM memberikan kesempatan pengendalian lebih besar bagi kepala sekolah, guru, murid, dan orang tua atas proses pendidikan di sekolah mereka.
Dalam pendekatan ini, tanggung jawab pengambilan keputusan tertentu mengenai anggaran, kepegawaian, dan kurikulum ditempatkan di tingkat sekolah dan bukan di tingkat daerah, apalagi pusat. Melalui keterlibatan guru, orang tua, dan anggota masyarakat lainnya dalam keputusan-keputusan penting itu, MBM dipandang dapat menciptakan lingkungan belajar yang efektif bagi para murid. Dengan demikian, pada dasarnya MBM adalah upaya memandirikan sekolah dengan memberdayakannya.
Melalui MBM dinyakini bahwa prestasi belajar murid lebih mungkin meningkat jika manajemen pendidikan dipusatkan di sekolah ketimbang pada tingkat daerah. Para kepala sekolah cenderung lebih peka dan sangat mengetahui kebutuhan murid dan sekolahnya ketimbang para birokrat di tingkat pusat atau daerah. Lebih lanjut dinyatakan bahwa reformasi pendidikan yang bagus sekalipun tidak akan berhasil jika para guru yang harus menerapkannya tidak berperanserta merencanakan-nya. Pendekatan melalui MBM juga memiliki lebih banyak masalahnya ketimbang pengambilan keputusan yang terpusat. Maslahat itu antara lain menciptakan sumber kepemimpinan baru, lebih demokratis dan terbuka, serta menciptakan keseimbangan yang pas antara anggaran yang tersedia dan prioritas program pembelajaran. Pengambilan keputusan yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan meningkatkan motivasi dan komunikasi (dua variabel penting bagi kinerja guru) dan pada gilirannya meningkatkan prestasi belajar murid. MBM bahkan dipandang sebagai salah satu cara untuk menarik dan mempertahankan guru dan staf yang berkualitas tinggi.
Penerapan MBM yang efektif secara spesifik mengidentifikasi beberapa manfaat yaitu:
a.     Memungkinkan orang-orang yang kompeten di sekolah untuk mengambil keputusan yang akan meningkatkan pembelajaran.
b.    Memberi peluang bagi seluruh anggota sekolah untuk terlibat dalam pengambilan keputusan penting.
c.     Mendorong munculnya kreativitas dalam merancang bangun program pembelajaran.
d.    Mengarahkan kembali sumber daya yang tersedia untuk mendukung tujuan yang dikembangkan di setiap sekolah.
e.     Menghasilkan rencana anggaran yang lebih realistik ketika orang tua dan guru makin menyadari keadaan keuangan sekolah, batasan pengeluaran, dan biaya program-program sekolah.
f.     Meningkatkan motivasi guru dan mengembangkan kepemimpinan baru di semua level. [26]

E.     Peran Kepala Madrasah dalam Manajemen Berbasis Madrasah
Pakar pendidikan berpendapat, bahwa kepala sekolah merupakan tokoh kunci keberhasilan suatu sekolah. Kepala sekolah sama dengan kepala madrasah. Dengan kata lain, kepala madrasah adalah kunci keberhasilan pendidikan di madrasah. Karena itu, Sudarwan Danim menyebut kepala sekolah (baca madrasah) sebagai the key person — penanggungjawab utama atau faktor kunci – untuk membawa madrasah menjadi center of excellence, pusat keunggulan dalam mencetak dan mengembangkan sumberdaya manusia madrasah.[27]
 Secara operasional kepala madrasah adalah orang yang paling bertanggungjawab mengkoordinasikan, menggerakkan, dan menyelaraskan semua sumber daya (resources) madrasah. Kepemimpinan kepala madrasah merupakan faktor pendorong untuk mewujudkan visi, misi, tujuan dan sasaran madrasah yang dipimpinnya menuju madrasah yang bermutu. Bermutu dibidang pelayanan, dibidang pembelajaran, dibidang sarana prasarana, pengembangan SDM, dibidang prestasi akademik dan non akademik. Itulah tugas suci seorang kepala madrasah: menciptakan madrasah yang bermutu.
Dewasa ini, salah satu aspek yang paling lemah dalam dunia madrasah adalah aspek manajemen. Banyak guru senior yang trampil dan berpengalaman dalam mengajar, tetapi miskin dengan management ability. Padahal pemberdayaan madrasah hanya dapat dilakukan apabila kepala madrasah memiliki kemampuan manajerial yang lebih dari pada kemampuan yang dimiliki sekarang, untuk membawa madrasah menjadi madrasah yang berkualitas.
Kepala sekolah merupakan motor penggerak, penentu arah kebijakan sekolah, yang menentukan  bagaimana tujuan-tujuan sekolah/madrasah dan pendidikan pada umumnya di realisasikan. Sehubungan dengan Manajemen Berbasis Madrasah, kepala sekolah  dituntut senantiasa meningkatkan kerja efektifitas kinerja. Dengan begitu, MBM sebagai pradigma baru dalam pendidikan dapat memberikan hasil yang memuaskan.[28]
Pidarta mengemukakan tiga macam ketrampilan yang harus dimiliki oleh kepala sekolah  untuk menyukseskan kepemimpinannya. Ketrampilan tersebut adalah :
1.      Ketrampilan konseptual, yaitu ketrampilan  untuk memahami dan mengorganisasi.
2.      Ketrampilan manusiawi, yaitu ketrampilan untuk bekerja sama, memotivasi dan memimpin.
3.      Ketrampilan teknik, yaitu ketrampilan dalam menggunakan pengetahuan , metode, teknik, serta perlengkapan untuk menyelesaikan tugas tertentu.[29] 
Dari uraian ketrampilan untuk kepala sekolah diatas, menunjukkan bahwa untuk menuju ke Manajemen berbasis madrasah baik harus saling bersinambungan anatara yang satu dengan yang lain tanpa ada ketimpangan. Sehingga madrasah tidak akan kalah dengan sekolah umum dalam pengembangannya.


F.     KESIMPULAN
Berdasarkan dari uraian dari lembar pertama dan terakhir, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa konsep pendidikan yang berpola Manajemen Berbasis  Madrasah adalah konsep yang menggali potensi yang ada di masyarakat dan lingkungan pendidikan.
MBM merupakan salah satu uapaya pemerintah untuk mencapai keunggulan masyarakat bangsa dalam hal penguasaan ilmu dan teknologi. Dan tujuan utama MBM ( manajeman berbasis madrasah ) adalah meningkatkan efesiensi, mutu dan pemerataan pendidikan. Dalam berimplementasi MBM/MBS menuntut dukungan  tenaga  kerja professional,  trampil, dan berkualitas  agar dapat membangkitkan motivasi kerja yang produktif. Khususnya kepala sekolah, guru, calon guru dan dewan sekolah/madrasah serta tokoh masyarakat yang bertanggung jawab  dan terlibat secara langsung dalam pelaksanaan pendidikan di Madarasah.
























DAFTAR PUSTAKA

Agus Dharma, Manajemen Berbasis Sekolah, (Jakarta: Pendidikan Network, http://re-searchengines.com/adharma2.html, 2003).
Ahmad Sabri, Administrasi Pendidikan, (Padang : IAIN IB Press, 2000).
Alamsyah Ratuperwiranegara, “Sambutan,” dalam K.H.O. Gadjahnata dan Sri-Edi Swasono, Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan, (Jakarta: UI-Press, 1986).
Bachari Zaenun, Organisasi  Sekolah dan Manaejeman,  (Balai Aksara, Jakarta).
Balitbangdikbud, Sari Kebijaksanaan   Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ;  Pendidikan Dasar, (Jakarta, Depdikbud,1993/1994)
BPPN dan Bank Dunia, School Based Manajemen, Jakarta 1999.
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah  Pertumbuhan dan Perkembangan, Cet.III, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999).
Departemen Agama, Al-Qur’an dan  Terjemah
Dhofier, Z. Tradisi Pesantren. (Jakarta: LP3ES.1982).
Direktorat Pendidikan Luar Biasa, Manajemen Berbasis Sekolah, (Jakarta: Direktorat Pendidikan Luar Biasa, 2008).
Exsa, Perbandingan Manajemen Berbasis Sekolah Dengan Manajemen Berbasis Madrasah, (http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-makalah-tentang/ perbandingan - manajemen - berbasis - sekolah – dengan – manajemen - berbasi-madrasah, 2009).
Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya Jakarta: Logos, 1999).
Manulung M, Dasar – Dasar Manajemen, (Ghalia Indonesia, Jakarta . 1983)
Muhaimin, Abd. Mujib,  Pemikiran Pendidikan  Islam,(Bandung,Penerbit Trigenda Karya, 1993 ).
Mulyasa E, Manajemen Berbasis Madrasah,  (PT Remaja Rosdakarya., Bandung, 2004).
----------------. Manajemen Berbasis Sekolah Konsep, Strategi dan Implementasi, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004).
Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta : PT. Bumi Aksara, 1995), Cet. Ke-1.
Pidarta, Made.  Menejemen Pendidikan  Indonesia, (Bumi Aksara, Jakarta, 1988).
Ramayulis, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta : Kalam Mulia, 2003).
Sudarwan Danim. Visi Baru Manajemen, Dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik. Jakarta: Bumi Aksara, 2005).
Tilaar, Manajemen Pendidikan Nasional, (PT. Remaja Rosdakarya., Bandung, 2004).





[1] H. Alamsyah Ratuperwiranegara, “Sambutan,” dalam K.H.O. Gadjahnata dan Sri-Edi Swasono, Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan, (Jakarta: UI-Press, 1986), hal. v
[2] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah  Pertumbuhan dan Perkembangan, Cet.III, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999), hal. 21
[3] Dhofier, Z. Tradisi Pesantren. (Jakarta: LP3ES.1982) hal  176

[4] Balitbangdikbud, Sari Kebijaksanaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ; Pendidikan Dasar, (Jakarta, Depdikbud,1993/1994)     
[5] M.Manulung, Dasar – Dasar Manajemen, (Ghalia Indonesia, Jakarta . 1983) hal  15
[6] Bachari Zaenun, Organisasi  Sekolah dan Manaejeman,  (Balai Aksara, Jakarta) hal  32
[7] Muhaimin, Abd. Mujib,  Pemikiran Pendidikan  Islam,(Bandung,Penerbit Trigenda Karya, 1993 ) hal 305
[8] Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya Jakarta: Logos, 1999), hal. 81.
[9] Tilaar, , Manajemen Pendidikan Nasional, (PT. Remaja Rosdakarya., Bandung, 2004) hal 31
[10] Mulyasa. E , Manajemen Berbasis Madrasah,  (PT Remaja Rosdakarya., Bandung, 2004) hal 11
[11] Agus Dharma, Manajemen Berbasis Sekolah, (Jakarta: Pendidikan Network, http://re-searchengines.com/adharma2.html, 2003), h. 1
[12].Mulyasa. E, Op cit, hal 24.
[13] Ibid, hal  29
[14] BPPN dan Bank Dunia, School Based Manajemen, Jakarta 1999 hal ..
[15]Suyanto, Perumusan Manajemen Berbasis Sekolah, (Wonosobo: Makalah SMK 2 Wonosobo, 2008), h. 4

[16] Ramayulis, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta : Kalam Mulia, 2003), h. 141-143

[17] Departemen Agama, Al-Qur’an dan  Terjemah
[18] Ahmad Sabri, Administrasi Pendidikan, (Padang : IAIN IB Press, 2000), hal. 14

[19] Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta : PT. Bumi Aksara, 1995), Cet. Ke-1, hal. 156
[20]Ibid, hal 157
[21].Mulyas. E, Op Cit, hal 41
[22] Syaiful Sagala, Konsep dan Makna Pembelajaran, (Bandung : Alfa Beta, 2005), Cet  Kedua, hal. 61
[23] Mulyasa E, Op. Cit, hal 47.
[24] Exsa, Perbandingan Manajemen Berbasis Sekolah Dengan Manajemen Berbasis Madrasah, (http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-makalah-tentang/perbandingan-manajemen-berbasis-sekolah-dengan-manajemen-berbasi-madrasah, 2009), hal 3
[25] Mulyasa E. Manajemen Berbasis Sekolah Konsep, Strategi dan Implementasi, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004), hal. 97-120

[26] Direktorat Pendidikan Luar Biasa, Manajemen Berbasis Sekolah, (Jakarta: Direktorat Pendidikan Luar Biasa, 2008), hal. 7
[27] Sudarwan Danim. Visi Baru Manajemen, Dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik. Jakarta: Bumi Aksara, 2005), h. 96

[28] Mulyasa, E. Op Cit, hal 129
[29] Pidarta, Made.  Menejemen Pendidikan  Indonesia, (Bumi Aksara, Jakarta, 1988) hal  220

Pengikut