Disepakatinya perjanjian kerja sama pemberantasan korupsi antara Muhammadiyah dan NU merupakan wacana menarik untuk dikaji. Sebagai umat Islam, dengan adanya kesamaan tekad tentang korupsi tersebut, setidaknya memberikan harapan baru bagi seluruh warga untuk tidak dihantui bayang-bayang kebangkrutan negara akibat korupsi yang akut.
Tanpa mengurangi rasa hormat pada Buya Syafi'i Ma'arif dan Kiai Hasyim Muzadi selaku pimpinan puncak kedua ormas, upaya tersebut setidaknya merupakan gerakan moral yang secara jam'iyah (organisasi) diikrarkan terang-terangan.
Lain dengan dulu, barangkali warga Muhammadiyah dan NU hanya mengecam secara pribadi maupun kelembagaan di tingkatan lokal, atau belum menjadi gerakan moral yang terstruktur. Tetapi dengan adanya perjanjian setidaknya gerakan moral yang dibangun menjadi kebulatan tekad bersama.
Namun, menyikapi perjanjian kerja sama itu setidaknya terdapat beberapa persoalan yang mesti dijawab.
Kita semua menyadari mayoritas elite pemerintahan yang beragama Islam adalah warga Muhammadiyah maupun NU, yang secara praktis akan menjadi pelaku korupsi, atau setidaknya menjadi pihak yang hanya "diam" ketika korupsi dilakukan di depan mata.
Dipandang dari sudut organisasi, seberapa jauh Muhammadiyah dan NU secara kelembagaan mampu "mencuci" kadernya yang ada di birokrasi/legislatif dari tindak pidana korupsi yang tak tersentuh hukum tersebut?
Kader Terpilih
Era reformasi yang menumbuhkan elite politik yang tentunya mayoritas diisi kader-kader terpilih dari kedua ormas tersebut ternyata belum mampu menjawab kegundahan generasi mendatang akan bayangan kebangkrutan akibat korupsi.
Barangkali di wilayah-wilayah gerakan organisasi mereka (para politisi dan birokrasi) selalu bangga untuk mengakui mereka kader Muhammadiyah atau NU. Namun dalam realitas pemerintahan kebanggaan itu tak pernah nampak manakala kegiatan korupsi sedang dijalankan.
Sekali lagi, ini bukanlah hal yang menyudutkan kader Muhammadiyah maupun NU, namun hal yang sama kadangkala dilakukan elite yang kebetulan beragama non-Islam. Mereka bangga dengan keberagamaannya saat mereka memasuki wilayah-wilayah keagamaannya.
Tetapi semangat tersebut serasa musnah manakala korupsi sedang dilakukan. Baik kader Muhammadiyah, NU maupun kader non-Islam, sebagai saksi pun tak bersuara nyaring untuk melakukan gerakan pemberantasan minimal di lingkungan kerjanya.
Apabila Muhammadiyah dan NU mampu menghindarkan warganya yang ada di birokrasi maupun legislatif maka akan ada taksiran baru di mana pemberantasan korupsi, paling tidak sudah mencapai separo dari segmen gerakan etik dan moralitas keberagamaan.
Pemberian sanksi ataupun pengusutan secara internal hingga ke pengadilan harus dilakukan oleh kedua ormas tersebut kepada warganya yang terindikasikan terlibat korupsi. Sanksi moral tersebut setidaknya membuat jera pelaku korupsi dari warga Muhammadiyah maupun NU.
Dan apabila ini menjadi kesadaran masif seluruh umat beragama di Indonesia barangkali persoalan korupsi menjadi ringan dan hampir terselesaikan.
Di saat kita melihat realitas kemuhammadiyahan warga Muhammadiyah dan ke-NU-an warga NU dari tingkat akar rumput maupun elite pemerintahan, ketaatan yang muncul akibat fanatisme masih terbatas pada persoalan fiqh sebagai pedoman ritual mereka.
Pendeknya, realitas yang ada bahwa warga Muhammadiyah dan NU lebih taat pada maklumat tentang penentuan tanggal 1 Ramadhan dan 1 Syawal oleh organisasinya masing-masing ketimbang taat pada tausiyah-tausiyah yang dikeluarkan organisasi-organisasi tersebut.
Sebut saja gerakan infak, jihad dan lain sebagainya yang bersifat gerakan keduniaan, pada kenyataannya belum maksimal dicapai oleh kedua organisasi tersebut.
Kader pada kenyataannya lebih tertarik untuk masuk pada wilayah-wilayah fiqh yang berorientasi pada ritus yang bermuara pada perbedaan pendapat yang konon menjadi materi hangat di koran-koran.
Apabila perjanjian kerja sama tersebut menjadi kebulatan tekad kedua ormas, sejauhmana kedua ormas tersebut sebagai pressure group mampu memberikan dukungan yang masif terhadap warga Muhammadiyah maupun NU yang melakukan gerakan antikorupsi, baik secara litigasi maupun nonlitigasi.
Apabila dukungan yang tanpa reserve tersebut diberikan pada aktivis gerakan antikorupsi, setidaknya hal ini menambah semangat baru dalam gerakan antikorupsi di Indonesia.
Sebaga ormas yang mempunyai kader di segala lini pemerintahan, mampukah Muhammadiyah dan NU melakukan gerakan high politic untuk mengarahkan kadernya di birokrasi maupun legislatif untuk secara sistemik melakukan penegakan hukum dan membuat produk hukum baru yang lebih manjur dalam pemberantasan korupsi.
Persoalan penegakan hukum sendiri pun menjadi hal yang dilematis manakala korupsi diangkat sebagai wacana yang perlu diberantas. Kondisi penegakan hukum yang belum pernah tegak ini menjadikan gerakan antikorupsi terganjal di tengah jalan.
Banyaknya perkara korupsi yang diangkat di pengadilan pada kenyataannya tidak banyak pula yang tertuntaskan karena intervensi politik para politisi sendiri maupun rendahnya kesadaran berbangsa dan bernegara para penegak hukum.
Munculnya lembaga-lembaga yang dipayungi oleh kekuasaan pemerintahan pun belum mampu berbuat banyak dalam mengusut korupsi.
Daya Kohesifitas
Untuk menitipkan amanah kepada kader kedua ormas di birokrasi maupun legislatif tentang pemberantasan korupsi pun kedua ormas ini belum memiliki daya kohesifitas yang tinggi.
Kesadaran para elite di segala lini yang berasal dari Muhammadiyah maupun NU masih pada kesadaran ritus, sedangkan kesadaran ritus baru dimiliki oleh sebagian kecil anggota Muhammadiyah dan NU.
Nampaknya kesepakatan akan pemberantasan korupsi merupakan awal dari perjalanan panjang menuju pada kesadaran masif warga kedua ormas tersebut. Sementara agenda-agenda sosial maupun politik terus mengisi rutinitas keseharian. Walau bukan parpol namun keduanya rentan sekali terhadap persoalan-persoalan politik tanpa mengurangi intensitas gerakan sosialnya.
Sebagai ormas terbesar yang secara kuantitas memiliki konstituen yang tak tertandingi oleh parpol manapun menjadi modal untuk menarik godaan-godaan politik.
Kesepakatan akan pemberantasan korupsi sudah selayaknya mendapatkan sambutan para kader secara total, sehingga secara bertahap kedua ormas tersebut mampu menyusun strategi pemberantasan beserta membangun infrastrukturnya, minimal mampu melakukan pembersihan di tingkat internal yang menyangkut warganya di birokrasi dan legislatif.
Apabila gerakan ini tanpa didukung mayoritas kader, ibarat "jauh panggang dari api", gerakan pemberantasan korupsi bak koor paduan suara pengisi panggung sejarah Indonesia, namun tidak memberikan pengaruh apa-apa.
Sosialisasi kesadaran dari tingkat pusat sampai segala lini organisasi ini adalah sebuah tantangan di saat banyak kader ormas ini duduk di organisasi kepartaian maka konsolidasi internal pun terkadang tersendat. Mayoritas kader lebih disibukkan kegiatan kepartaian ketimbang untuk kedua ormas tersebut.
Apakah Muhammadiyah dan NU mampu menuntaskan berbagai tantangan ini. Sebagai kader kita layak untuk harap-harap cemas, setidaknya secara pribadi dan dalam kapasitas masing-masing melakukan gerakan antikorupsi. Sehingga lambat-laun apabila gerakan antikorupsi sudah membudaya di level jamaah ormas tersebut maka akan menjadi gerakan yang masif dan mempunyai daya dobrak yang tinggi. Semuanya berpulang pada kader. Karena disadari atau tidak Muhammadiyah maupun NU ada karena ada jamaah ormas itu sendiri, bukan orang lain. Dan apakah gerakan yang amar ma'ruf nahi munkar ini akan menjiwai setiap kader Muhammadiyah dan NU di masa mendatang?
Sutrisno Handoko : Mantan Aktivis Mahasiswa, dan aktivis anti korupsi di Pati.
Tulisan ini pernah di muat di harian Suara Merdeka 23 Oktober 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar